ads header

Thursday, November 26, 2020

Andy Ayamiseba: Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi

0

 


Ringkasan

Buku Andy Ayamiseba; Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi terbagi dalam enam bagian yang berisi fakta dari data dan informasi yang di himpun dari personil, keluarga dan teman-teman Andy Ayamiseba dan personil Black Brothers serta media yang memuat berita tentang kiprah Andy Ayamiseba bersama Black Brothers selama di Indonesia, Belanda dan Pasifik, dihimpun dari berbagai media yang terbit antara tahun 1960-2019.

Bagian I; Andy Dari Saoka Ke Hollandia

Kisah masa kecil Andy yang memiliki nama lengkap Andreas Wilhelmus Ayamiseba lahir kembar dengan Poppy Ayamiseba yang akrab di panggil Telly di Sorido, Biak pada 21 Apil 1947.

Andy menyelesaikan sekolah dasarnya di JVVS Saoka, Sorong. Setelah tamat SD ia melanjutkan ke PMS ZNHK di Fanindi, Manokwari 1961. Usai tamat SMP, Andy melanjutkan pendidikannya di HBS Jayapura tahun 1963—kini dikenal dengan nama SMA Gabungan. Setamat SMA Andy tidak melanjutkan sekolah (kuliah), namun memulai usaha yang dikerjakan secara profesional.

Andy berhasil mendirikan perusahaan PT. Bintuni Baru yang bergerak di bidang konstruksi dan perdagangan (Import/Export) ke luar negeri, Land/Property Development Irjaco Real Estate dan Travel Bureau Triton. dan tetap bermusik.

Selepas grup band sekolah Highscool Devils Andy bergabung dengan grup Muda Ria (1964) personilnya terdiri dari Andy Ayamiseba (gitar), Richard Waiseng (lead guitar), John Tamnge (bass), Kees Renyaan yang akrab dipanggil Texy menabuh drum dan “Honda” Marcel Siante teman sekolah Andy yang berasal dari Merauke sebagai vokalis.

Diakhir tahun 60-an Andy bergabung dengan The Varunas Band, didirikan oleh Angkatan Laut (Daeral X), Varunas berlatih di jalan Nirwana Angkasa, kediaman Indra Kusnadi (Panglima Daeral X) yang juga gemar musik.

Tahun 1969, Andy berjumpa dengan isterinya yang pertama, Mariana Lilo, yang berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mariana dan keluarganya pindah ke Jayapura karena Daud Lilo, (ayah Mariana) adalah seorang anggota Brimob, dipindahkan dari Kupang dan ditugaskan di Sukarnapura (Jayapura). Andy dan Mariana menikah pada tanggal 4 Juli 1970 di Kupang.

Situasi politik di Papua yang tidak stabil membuat Andy “memindahkan” sebagian keluarganya (termasuk Wellem Ayamieba yang saat itu masih kelas enam SD) ke Jakarta tahun 1973. Andy bisa pulang pergi ke Jakarta untuk melihat keluarganya dan mengurus bisnisnya, usia yang tergolong muda untuk bertarung di Ibu Kota Indonesia. Tahun 1974 Andy bersama keluarga pindah ke Jakarta, namun Andy sendiri balik lagi ke Papua dan mengumpulkan sejumlah anak muda Papua untuk berlatih band di garasi rumahnya di jalan Lembah II No. 8 Angkasa Indah, Jayapura. Grup band PdK terbentuk, berganti nama menjadi Los Iriantos Primitive dan bermetamorfosa menjadi Black Brothers. Selain berlatih musik, ada juga anak muda yang berlatih tarian tradisional Papua.

Los Iriantos Primitive pada bulan April 1976, resmi berganti nama menjadi Black Brothers dengan dua tambahan personil, Amry Muradji Kahar (Amry Tass) dari Sorong dan Abdullah Junus yang di kenal dengan nama David Rumagesang, kala itu David sedang kuliah di ISI Yogyakarta tahun 1973, setelah tamat SMA di Sorong.

Bagian II; Andy dan Black Brothers Bertarung di Jakarta

Black Brothers dikontrak untuk bermain di Ankerage Pub, sebuah bar merangkap rumah makan Eropa di lantai bawah Presiden Teater—ex Bioskop Presiden di Taman Ria Monas.

Black Brothers dan keluarga tinggal di rumah lantai tiga, Jendral Nisam Sahman, perwira militer angkatan laut aktif di jalan Kartanegara, Jakarta Selatan.

Black Brothers mulai dikenal lewat penampilan perdana di Taman Ria IRTI (Ikatan Restoran dan Taman Informasi), Monas, Jakarta. Penampilan yang menawan dan mendapat sambutan meriah oleh pihak manajemen Taman Ria.

Duel meet SAS vs Black Bros, 28 Desember 1976 dimulai pukul 20.00 WIB, Black Brothers tampil dengan kostum (cidako) tradisionil Irian, dengan lagu “Huambello” sebagai pembuka, pada sesi pertama setelah “Huembello”, BB menyajikan lagu-lagu Osibisa, Santana, KC and The Sunshine Band dan “Apuse” serta diiringi serombongan penari berbusana tradisional Papua. Sambutan pun meledak tanda suka cita penonton.

Meet kedua antara SAS dan Black Brothers, dalam acara penutupan festival musik rock 5-6 Agustus 1977 se Jawa Barat di Bandung.

Aktuil menjadi promotor yang mempertemukan Freedom, Farid & Bani Adam dan Black Brothers satu panggung di GOR Saparua, 30 Januari 1977. GOR Saparua sudah penuh sesak dipadati penonton yang ingin menyaksikan dual meet tiga band sekaligus antara Black Brothers, Freedom serta Farid & Bani Adam.

Menembus Pentas Musik Nasional

Black Brothers akhirnya berhasil menembus pentas musik Indonesia dan menjadi salah satu grup band dengan bayaran termahal, mendapat sponsor untuk show pada berbagai kota di Indonesia, dan tiap show selalu dipadati ribuan penonton.

Black Brothers Masuk Studio Rekaman

Hartono Hendra (Nyoo Ben Seng) suatu saat menonton Black Brothers tampil di Ankerage Pub, ia tertarik dan mengundang Andy Ayamiseba ke kantornya. Andy meyakinkan Hartono bahwa Black Brothers dapat memainkan lagu-lagu pop Indonesia dengan warna musik tradisional Papua. Hartono Hendra merespons dengan antusias, BB masuk dapur rekaman album pertama di bulan Juli 1976.

Melihat pemusik Papua yang banyak saat itu, Andy Ayamiseba kemudian mendirikan grup Black Papas dan Coconuts Band.

Black Brothers Grup yang Komplit

Andy Ayamiseba mengatakan bahwa Black Brothers merupakan grup yang komplit, dengan Agus Rumwaropen Si Jari Emas karena kemahirannya memainkan melody gitar dan dijuluki “George Benson” Yochie Pattipeiluhu memegang keyboard Si Pena Emas karena kemampunnya sebagai seorang pencipta lagu dan komponis, Benny Bettay memainkan Bass dan Stevi Mambor penabuh drum juga vokalis sebagai tulang punggung rytehm, Amri Kahar peniup terompet dan David Rumagesang peniup saksofon mempermanis rytehm dan Hengky Mirontoneng Sumanti sebagai vokalis utama yang bersuara emas.

Andy menjelaskan keberhasilan Black Brothers, pertama adalah tim menejemen, termasuk manager dan produsernya yang menangani hal-hal komersil, dan produktivitas dari group. Kedua yang tidak kalah pentingnya adalah penulis [penyair] berbobot dan mampu menulis syair-syair tentang realita kehidupan sehari-hari. Ketiga adalah masalah tampilan yaitu harmonisasi antara aransemen musik dan vocal utama serta backing vokal. Gabungan ketiga unsur ini yang membuat Black Brothers berhasil mencapai puncak kesuksesan. Selaku manager, produser Andy menyatakan bahwa yang membuat Black Brothers tersohor adalah syairnya yang berbobot dan dikenang sepanjang masa.

Bagi Andy Ayamiseba, mengurus menejemen sebuah band lebih sulit dari mengurus satu peleton tentara, karena kedisplinan yang berbeda. Namun demikian kru Black Brothers yang pada saat itu berumur sekitar dua puluh tahunan, mampu menunjukan bahwa mereka memiliki visi dan misi yang mengikat persaudaraan mereka secara erat, demi kesuksesan sebagai seniman. Andy memuji ketekunan mereka walaupun menejemen yang ia terapkan sedikit bersifat “bertangan besi”.

Peran Andy dan Black Brothers Dalam Perjuangan Papua

Grup musik akustik Mambesak dan Black Brothers telah berperan membangun identitas dan persatuan masyarakat Papua. Dua grup Mambesak dan Black Brothers memberikan sebuah pendidikan, pemahaman tentang kebersamaan, keragaman dalam kemajamukan masyarakat di Papua, yang dapat di kelola menjadi sebuah kekuatan yang dasyat.

Pertama; aspek perlawanan budaya yang telah dilakukan kelompk Mambesak, kedua; lobby untuk dukungan internasional. Beberapa hal positif yang muncul dari program-program tersebut adalah tumbuhnya identitas ke-Papua-an. Black Brothers di bawah kepemimpinan Andy Ayamiseba telah mempromosikan budaya dan identitas Papua Barat hingga ke wilayah Melanesia.

Kedua; kelompok ini telah menciptakan revolusi musik di Papua Barat dan seluruh wilayah Melanesia. Andy menyatakan bahwa bandnya selalu siap untuk menjalankan tugas apapun yang dibebankan OPM selama itu adalah rencana yang realistis dengan tujuan yang jelas dan dapat dicapai.

Undangan show Air Niugini dipakai sebagai momen untuk membawa keluar Dirk Ayamiseba, beserta seluruh anggota grup band Black Brothers dan keluarga mereka dari Indonesia. Sedangkan E.J. Bonay [mantan Gubernur Papua] dikeluarkan melalui perbatasan dan ditampung oleh Pemerintah PNG di Camp Wabo, Provinsi Gulf.

Rekaman pertama BB di Port Moresby, dilakukan di Studio Radio Nasional PNG (National Broadcasting Corporation/NBC), di Waigani, Port Moresby. Dibantu oleh NBC, BB merekam dua album untuk Raymond Chin yang belum memiliki studio rekaman saat itu. Selama di PNG, Pasifik, Black Brothers berasil merekam 31 album dan 3 album kompilasi.

Di Hubert Murray Stadium, Konedobu, Andy mengumumkan kepada masyarakat dan pemerintah PNG, bahwa Group Black Brothers dan musiknya hadir untuk mendukung perjuangan OPM dalam membebaskan bangsa dan rakyat Papua Barat dari penjajahan Indonesia.

Pernyataan Andy memicu reaksi protes Kedutaan Besar Republik Indonesia di Waigani (Port Moresby). Pangu Party pimpinan Sir Michael Thomas Somare, yang memimpin pemerintahan koalisi pada 1979, didesak agar segera mendeportasi Andy Ayamiseba dan kelompok Black Brothers ke Jakarta, untuk diadili atas keterlibatan mereka dengan OPM.

Tahun 1980, Black Brothers tiba dan bermukim di Belanda sebagai pencari suaka politik. Mereka bermukim di Belanda selama empat tahun dengan tingkat kehidupan yang lumayan baik, tapi Andy selalu ingat tugas kedua dari Markas Victoria yaitu mensukseskan Proyek Padaido, dan membangun basis internasional menggantikan basis di Senegal.

Pada akhir tahun 1983, setelah kembali ke Belanda dari tour di Caledonia dan Vanuatu, Andy mengadakan rapat khusus dengan anggota-anggota Black Brothers, Andy mengemukakan rencana untuk pindah ke Vanuatu dan membangun basis perjuangan yang kokoh bagi OPM di Kawasan Pasifik— untuk pertama kali dalam rapat Black Brothers Andy membuka rahasia tugas dari Brigjen Rumkorem, mengenai Proyek “P.”

Bagian III; Perpecahan dan Upaya Rekonsiliasi Gerakan Perjuangan

Pada pertengahan dekade 1960-an, isu Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di tahun 1969 merupakan masalah yang hangat dibicarakan secara rahasia oleh setiap anak bangsa Papua Barat. Pertemuan-pertemuan rahasia pun dilaksanakan terutama di kalangan mahasiswa, pemuda dan para politisi jaman pemerintah Belanda. Mereka membahas isi Perjanjian New York (New York Agreement) terutama tentang mekanisme “One Man One Vote”.

Menjelang tahun 1969, Andy Ayamiseba mulai menjalin komunikasi rahasia dengan sejumlah tokoh-tokoh Organisasi Papua Merdeka diantaranya; Moses Weror, Clemens Runawery, Willem Zonggonau, Herman Wayoi, Penehas Torey, Stefen Nafuni, August Kafiar, dan juga Arnold Ap, yang saat itu sedang merencanakan aksi protes pada 11 April 1969.

Bulan April 1969, Andy Ayamiseba ditangkap karena keterlibatannya sebagai koordinator logistik [transportasi] atas aksi demontrasi 11 April 1969 yang menuntut PEPERA harus dilakukan berdasarkan prinsip “Satu Orang Satu Suara” sesuai Perjanjian New York.

Pendemo yang ditangkap dan ditahan, dipenjarakan oleh Laksusda Kodam 17 Cenderawasih. Ketika Andy dipenjarakan, Donald anak laki-lakinya yang sulung masih berusia tiga bulan. Setelah keluar dari penjara Andy fokus membangun bisnis dan tetap bermain musik.

Andy dipercayakan sebagai anggota kabinet yang membidangi perekonomian nasional. Tugas khusus yang diberikan oleh Rumkorem pada waktu itu adalah membawa keluar kedua tokoh Pemimpin Papua, yakni Dirk Ajamiseba (mantan Ketua DPRD-GR Propinsi Irian Barat), dan Eliezer Jan Bonay (mantan Gubernur pertama Propinsi Irian Barat) dari wilayah Indonesia. Upaya ini kemudian dikenal dengan nama ‘Padaido Project’—rute “evakuasi” kedua tokoh tersebut adalah melalui Pulau Manus menuju Vanuatu dan seterusnya ke Belanda.

Perpecahan di Papua tak lepas dari pecahnya kepemimpinan gerakan perjuangan Papua di Belanda. Menurut Kaisiepo, Nicolaas Jouwe telah keluar dari organisasi payung gerakan pembebasan Papua di Belanda. Jouwe tidak menerima dan mengakui pemerintahan revolusioner Seth Rumkorem sebagai satu-satunya organisasi perlawanan.

Upaya Rekonsiliasi OPM di Luar Negeri

Perpecahan yang terjadi dalam OPM membuat negara-negara Melanesia berupaya membantu proses rekonsiliasi dalam tubuh perjuangan pembebasan Papua Barat. PNG di bawah pemerintahan Somare, mengundang Jacob H. Prai dan Otto Ondawame perwakilan dari faksi Pembela Keadilan (PEMKA), serta Seth Rumkorem dan Daan Kafiar perwakilan dari Markas Victoria (Marvic), untuk duduk membahas rekonsiliasi gerakan perjuangan di Port Moresby pada 14 -17 April 1978. Undangan PNG tidak ditanggapi oleh kedua faksi OPM, sehingga perpecahan terus berlanjut. Sementara itu pejabat pemerintah Papua Nugini tetap menyerukan agar persatuan dan rekonsiliasi nasional OPM harus dilakukan.Upaya rekonsiliasi bagi OPM terus dilakukan Walter Lini di Vanuatu, tujuannya agar meyakinkan pemerintah Vanuatu dan komunitas dunia tentang keseriusan Papua untuk bersatu. Para pemimpin OPM dari dua faksi utama ―Prai dari PEMKA dan Rumkorem dari Victoria, ditekan untuk menandatangani empat poin Deklarasi Port Vila tanggal 11 Juli 1985, di bawah pengawasan pemerintah Lini. Penandatanganan deklarasi ini dihadiri juga oleh Rex Rumakiek dan Andy Ayamiseba sebagai saksi.

Upaya Rekonsiliasi OPM di Dalam Negeri

Para pemimpin gerilya dalam negeri [Papua] turut mengeluarkan pernyataan tentang persatuan nasional, surat-surat tersebut antara lain dikirim oleh Fisor Yarisetouw dari PEMKA dan Marthin Prawar dari MARVIC pada 8 November 1984.

Sebuah memorandum kesepahaman dan kerja sama ditandatangani antara Mathias Wenda dari PEMKA dan Marthin Prawar dari Victoria pada 1 Agustus 1991, memorandum tersebut ditujukan untuk mengembangkan rencana persatuan nasional. Para pemimpin gerilya menyerukan persatuan nasional dan rekonsiliasi di antara para pemimpin OPM di luar negeri. Tanpa persatuan nasional, OPM tidak akan mencapai tujuannya.

Komando wilayah Selatan mencapai kesepakatan untuk mengakhiri satu tahun konflik internal yang ditandai dengan penandatanganan pernyataan kerja sama antara Bernard Mawen dan John Koknak, pada 25 Februari 1995 yang disaksikan oleh perwakilan organisasi dari dalam dan luar negeri.

Sebuah Organisasi Siswa Papua turut menyerukan penghapusan sukuisme, egoisme dan semua perbedaaan, dan membentuk front persatuan nasional. Seruan tersebut dikeluarkan tanggal 9 Februari 1996.

Dampak Kegagalan Rekonsiliasi

Segala upaya intervensi eksternal dan internal dalam proses rekonsiliasi nasional, menunjukkan bahwa semua faksi-faksi dalam OPM telah gagal mencapai persatuan. Kegagalan itu menyebabkan pemerintah negara-negara Melanesia terus mendorong terwujudnya persatuan gerakan pembebasan perjuangan Papua.

Konflik internal yang terjadi dalam perjuangan pembebasan Papua [OPM] menyebabkan hilangnya dukungan internasional, antara lain batalnya kerjasama dengan Uni Soviet, Cuba dan sejumlah negara Afrika yang telah menyatakan dukungan dan menawarkan kerja sama bagi pembebasan Papua; termasuk bantuan yang akan diberikan oleh Presiden Libya, Muammar Khadafi dan pemimpin PLO, Yasser Arafat.

Australia dan Selandia Baru melakukan pertemuan khusus, dan membahas keterlibatan Libya di wilayah Pasifik, Menteri Luar Negeri Australia, Bill Hayden dan Perdana Menteri Selandia Baru, David Lange, mengadakan pertemuan puncak tentang kegiatan Libya di Pasifik.

Bagian IV; Andy Ayamiseba di Kancah politik Vanuatu

OPM pada tahun 1970 menempatkan Rex Rumakiek sebagai perwakilannya dan telah membangun hubungan dekat dengan para pemimpin New Hebrides—salah satu partai nasional, yang kemudian pada tahun 1979 berganti nama menjadi Vanua’aku Pati (Party) di Vanuatu. Surat penetapan Rex Rumakiek sebagai perwakilan tetap OPM di Vanuatu dikeluarkan oleh Komite Nasional OPM No. 007/P.KN/83. Pos Vanuatu kemudian dilanjutkan oleh Andy Ayamiseba.

Black Brothers mengadakan tur yang pertama ke Vanuatu pada tahun 1983, Black Brothers membangkitkan kembali rencana semula antara OPM dan Vanua’aku Pati, agar Black Brothers harus menetap di Vanuatu guna memperkuat dukungan politik terhadap West Papua. Waktu itu ada indikasi bahwa hanya Vanua’aku Pati saja yang mendukung perjuangan West Papua.

Andy meyakinkan Walter Lini dan Vanua’aku Pati tentang dukungan Black Brothers terhadap kampanye politiknya, sehingga memuluskan jalan baginya untuk maju dalam pemilihan umum di Vanuatu. Black Brothers ke Vanuatu atas undangan resmi Father Walter Lini dan Vanua’aku Pati tahun 1983 [partai yang berkuasa saat itu] untuk membantu menggalang dana kampanye politik, guna memenangkan pemilu pertama di negara Vanuatu. Setelah Vanua’aku Pati kembali memenangkan pemilu, Andy bersama Black Brothers hijrah ke Vanuatu pada awal tahun 1984, dan memulai kampanye OPM disana.

Tahun 1970-an Rex Rumakiek telah membangun hubungan dengan para tokoh kemerdekaan Vanuatu, termasuk Hilda Lini (saudara perempuan Walter Lini), Kalkot Mataskelekele (kemudian bekerja di Mahkamah Agung Vanuatu), Silas Hakwa dll. Para tokoh kemerdekaan Vanuatu, sebagian adalah mahasiswa di University of Papua New Guinea (Universitas Papua New Guinea) yang kembali ke Vanuatu dan terlibat dalam gerakan kemerdekaan Vanuatu. Peran mahasiswa Vanuatu di kemudian hari menjadi sangat penting dalam mendukung perjuangan Pembebasan Papua Barat.

Selama di Vanuatu, Black Brothers merilis album Border Crossers, Live in Salomon dalam album Border Crossers terdapat lagu yang berjudul “Liklik Hope Tasol” yang dinyanyikan dalam bahasa Bislama, lagu yang sangat populer saat itu, disamping “Blue Eyes From Santo Town”. Black Brothers mendapat tempat di hati masyarakat Vanuatu. Show Black Brothers selalu dihadiri ribuan orang. Tahun 1986, Black Brothers mengadakan show di Honiara, Solomon Islands, untuk membantu rakyat yang mengalami bencana akibat angin badai Cyclone Namu (Santo Cyclone) dan show di tahun 1987 untuk membantu masyarakat Vanuatu yang dilanda bencana Cyclone Uma.

Jaringan di Salomon dijajaki bulan Juni 1996, saat itu sebuah delegasi OPM di bawah pimpinan Brigjen. Seth Rumkorem mengujungi Solomon Islands atas sponsor Andy Ayamiseba.

Tugas berikutnya yang diberikan Rumkorem sebagai Presiden Pemerintahan Revolusi Sementara (PRS), kepada Andy Ayamiseba adalah mempersiapkan satu kantor Perwakilan OPM yang akan dibuka di Vanuatu, sebagai ganti dari kantor Perwakilan OPM yang ditutup di Dakar, Senegal 1985. Andy lalu membawa kelompok Black Brothers dari Belanda ke Vanuatu dan ikut berkampanye untuk memenangkan Vanua’aku Pati dalam tiga kali pemilihan umum (1980, 1983, dan 1986), yang ketika itu dipimpin oleh Fr. Walter Lini dan Barak Sope. Perjuangan pembebasan Papua Barat akhirnya disponsori oleh Vanua’aku Pati untuk menjadi Permanent Foreign Policy of Vanuatu Government.

Tahun 2003, Andy Ayamiseba berhasil melobi Pemeritah Koalisi VP dan UMP yang baru, untuk membuka kantor OPM, yang diberi nama Kantor Perwakilan Bangsa Papua Barat (West Papuan People’s Representative Office/WPPRO).

Bersatunya Rex Rumakiek, Andy Ayamiseba petinggi dari OPM faksi Marvic dan John Ondawame selaku Menteri dalam Kabinet (1978, 1980, 1983, 1992) dari faksi PEMKA, merupakan kemajuan besar perjuangan Papua di Pasifik. Mereka bertiga secara bersama berupaya menyatukan jaringan perjuangan di Papua yang terpecah-pecah dalam faksi-faksi dengan membangun sebuah organisasi payung agar perjuangan pembebasan Papua memperoleh pengakuan internasional.

Barak Sope dan Eduard Natapei, berhasil mengajukan Wantok Bill, lalu diterima oleh seluruh anggota Parlemen dan Pemeritah Vanuatu pada Juni 2010. Usaha Andy untuk mendapat Wantok Bill dari pemerintah Vanuatu dilakukannya setelah pertemuan WPNCL akhir tahun 2008 di Port Vila, Vanuatu.

Wantok Bill adalah keputusan Parlemen Vanuatu terhadap Perjuangan Papua Merdeka sebagai Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Vanuatu. Sekalipun pemimpin pemerintah berganti, isu Kemerdekaan Papua akan tetap menjadi agenda Pemerintah dan Rakyat Vanuatu. Wantok Bill merupakan undang-undang yang diadopsi dari petisi rakyat yang diajukkan anggota parlemen independen, Ralph Regenvanu.

Agenda lobi melalui Vanuatu Parliamentary Lobby Group for West Papua tetap dijalankan di bawah koordinasi MP. Ralph Regenvanu. Karena Tuan Sope sudah tidak lagi menjadi anggota Parlemen. Andy mengadakan pertemuan khusus dengan Edward Nipake Natapei, untuk mambawa isu Papua agar dibahas dalam suatu sesi MSG Parliamentary meeting on West Papua di Vanuatu. Negara yang tergabung dalam MSG bisa didesak oleh parlemen masing-masing negara untuk membahas isu Papua dalam MSG. Usulan Andy sangat didukung oleh PM Natapei dan ia berjanji akan mengajukan suatu Joint Council of Ministers Paper bersama Menlu Vanuatu agar bisa mendapat dukungan dari kabinet dalam pertemuan tersebut. 

Bagian VI; Peran Andy Dalam Membangun Persatuan Papua

Untuk memperoleh kembali pengakuan dunia internasional, maka gerakan perjuangan pembebasan Papua perlu bekerja keras memenuhi syarat sebagai Belligerent serta syarat lainnya yang diatur dalam Protokol Tambahan 1977 mengenai CAR Conflict. Dalam ketentuan Pasal 1 Protokol II 1977 disebutkan:

a) Insurgent

Pada prinsipnya insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara namun secara de facto belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan. Dalam hal ini, kedudukan pemberontakan belum dapat diakui sebagai entitas internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum internasional.

b) Belligerent

Tahap pemberontakan ini merupakan kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi dan militer sehingga nampak sebagai satu kesatuan politik yang mandiri maka persoalannya berbeda dengan pemberontak insurgent.

Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek dan diplomat senior Papua lainnya yang melakukan diplomasi di Kawasan Pasifik dan Internasional, sangat memahami hukum internasional tentang status Papua. Dengan pemahaman pengetahuan yang diperoleh selama bertahun-tahun, para diplomat ini berupaya sangat keras agar terbentuknya sebuah organisasi payung [WPNCL dan kemudian ULMWP] yang dapat menghimpun semua organ perjuangan Papua agar tidak terpecah-pecah lagi sehingga dapat diakui sebagai organisasi yang memenuhi syarat belligerent, dan tidak ada lagi faksi-faksi dalam tubuh gerakan perjuangan Papua.

Perubahan Politik Di Indonesia

Pergolakan politik di Indonesia antara tahun 1997–2000 yang menuntut reformasi di segala bidang, ikut memberikan ruang bagi munculnya tuntutan kemerdekaan Papua. Melalui pelaksanaan Kongres Rakyat Papua Kedua, terbentuklah organisasi payung yang representatif menghimpun semua faksi-faksi perjuangan orang Papua yang diberi nama Presidium Dewan Papua (PDP).

Ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay pada tahun 2000, memimpin satu delegasi untuk melakukan pertemuan rekonsiliasi dengan Seth Rumkorem sebagai Presiden Pemerintah Revolusioner Organisasi Papua Merdeka. Pertemuan ini digagas oleh pemerintah Vanuatu, atas usulan dan kerja keras Andy Ayamiseba sebagai pejabat OPM. Pertemuan ini kemudian merekomendasikan didirikannya Kantor West Papua Peoples Representatives Office yang dikelola oleh John Otto Ondawame, berkedudukan di Port Vila, Vanuatu.

Perpecahan yang terus menerus terjadi dalam perjuangan pembebasan Papua, membuat banyak tokoh yang akhirnya putus asa dan melihat bahwa perjuangan Papua telah menemui jalan buntu. Beberapa diantaranya memilih kembali ke Indonesia, dan berupaya mengajak semua diaspora Papua untuk kembali membangun Papua bersama Indonesia, termasuk mengajak Andy Ayamiseba untuk kembali ke Indonesia.

Upaya Baru Membangun Organisasi Payung

Nieuwegein (2003) Usaha membangun organisasi gerakan pasca PDP kembali dilakukan. Proses rekonsiliasi dilakukan melalui rentetan pertemuan yang berlangsung sejak tahun 2002, dimulai dari beberapa pertemuan terpisah (parallel meeting) dengan para pimpinan Tentara Pembebasan Nasional.

Lae (2005). Melanjutkan rekomendasi hasil pra-lokakarya pada 27 Oktober 2004, WPPTF lalu memfasilitasi suatu Pertemuan Para Pemimpin Papua Barat II (The 2nd West Papua Leaders Meeting) yang dilaksanakan pada 28 November – 1 Desember 2005, di Lae, PNG.

Madang (2006) Mengacu kepada MOU sebagaimana yang telah disebutkan di atas, TPN-OPM merupakan komponen yang mendapatkan prioritas utama untuk direkonsiliasi. WPPTF selanjutnya melakukan pertemuan konsultasi terpisah dengan berbagai pimpinan Markas Komando TPN-OPM di seluruh Tanah Papua Barat, di antaranya Brigjen Richard H. Joweni, Jenderal Tadius Yogi, Jenderal Kelly Kwalik, Brigjen Nikolaus Ipo Hau, Jenderal Bernard Mawen dan Jenderal Mathias Wenda. Pertemuan tersebut berlangsung dari tanggal 22 – 24 Juli 2006 di Madang – PNG, kemudian melahirkan sebuah MOU dan Deklarasi yang disebut Madang Declaration.

Schotiau (2007) upaya untuk merekonsiliasi TPN PB yang tersebar di seluruh wilayah Papua Barat akhirnya dapat terwujud menjadi kebanggaan bagi perjuangan pembebasan Papua. Melalui The 2nd West Papua Guerilla Leaders Meeting (2nd WPGLM), yang diselenggarakan di Markas Victoria sejak 5 – 8 April 2007, disepakati beberapa keputusan penting, terutama Struktur Nasional dan Peraturan TPN PB, yang dituangkan ke dalam MoU dan MarVic Declaration.

Ipoh (2007) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Para Pemimpin Papua Barat atau West Papua Leaders Summit (WPLS), diselenggarakan pada 22-25 September 2007, di Ipoh, Malaysia. KTT ini berhasil menetapkan beberapa keputusan bagi proses penyelesaian politik bangsa Papua Barat, KTT ini dihadiri oleh beberapa organisasi politik rakyat Papua Barat.

West Papua Leader Summit 2008, Andy Ayamiseba kembali terlibat dalam upaya melobby pemerintah Vanuatu untuk memfasilitiasi pertemuan rekonsiliasi kelompok-kelompok perjuangan Papua Barat di Port Vila, Vanuatu. Pertemuan dilakukan pada 02-10 April di tahun 2008, yang melahirkan kesepakatan kerja sama dalam wadah afiliasi bersama yang diberi nama West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

 

Bagian V; Tahun-tahun akhir

Beberapa tahun sebelum meninggal, walaupun Andy sakit, namun ia tetap aktif membangun pencerahan dan komunikasi dengan semua jaringan perjuangan pembebasan Papua lewat surat elektronik dan media sosial, sebuah HIMBAUAN di posting Andy Ayamiseba di dinding fecebooknya pada Minggu pagi, 05 February 2017;

Di hari yang bersejarah ini, saya selaku seorang Anggota DEWAN KOMITE (Executive Council) dari ULMWP, dan Ketua Interim WPNCL, mengajak saudara-saudara seperjuangan Papua Merdeka ke dalam topik yang terarah demi menentukan status perjuangan kita, agar adanya suatu konsolidasi kekuatan yang terarah demi kemajuan perjuangan.

ULMWP selaku satu organisasi payung yang telah mempersatukan tiga institusi perjuangan yaitu: Parlemen Nasional Papua Barat (PNPB), NRFPB, dan West Papua Nasional Coalition for Liberation (WPNCL), sehingga telah memenuhi program politik pertama untuk mendapat dukungan dari dalam negeri, dan sub region Melanesia. Region Pasifik Selatan yang adalah fondasi utama dari dukungan Dunia (Internasional). Ini semua telah dibuktikan oleh penganugerahan status pengamat (observer) oleh MSG, Communique PIF dan pidato-pidto ke tujuh negara Melanesia, Micronesia dan Polynesia dalam bulan September 2016 di mimbar PBB. Lobby-lobby sedang berkelanjutan ke region-region yang lain di Afrika, Karibia, Uni Eropa dan Amerika Latin

Selanjutnya demi memperkokoh dukungan dalam negeri selaku fondasi dukungan dunia, ULMWP perlu membuka diri kepada institusi-institusi perjuangan lainnya, yang masih berada diluar dari organisasi payung, yang seharusnya mempersatukan semua kekuatan perjuangan. Agar bisa menjalankan program politik perjuangan yang terarah serta memiliki kerdibilitas yang diakui oleh dunia international.

Bagi anak dan cucunya, Andy Ayamiseba membuat pesan pada postingan di facebook 3 Mei 2017;

To my beloved children and grandchildren - I don’t have any wealth to pass it on when my time finally arrived as I am a FREEDOM FIGHTER living in exile during my entire presence on this planet, to free our beloved people and country WEST PAPUA. However, I do hope that the LEGACY of my involvement in the struggle will be your precious asset to walk with your heads up if one day Our Master has decided that a new nation of West Papua is born. Go back home to West Papua and contribute all your ex partyes to develop our country and communities rather than living and begging for pithiness like 2nd class citizens in other people’s land. This is my only will to pass on to all of you before it is too late to tell you. With all my love!!!

Author Image
AboutWest Papua National Coalition for Liberation

Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

No comments:

Post a Comment

Berita